Prestasi dan Budaya Organisasi Sekolah
Jika kita lihat, sepintas beberapa sekolah terlihat serupa. Misalkan saja, sekolah A yang mengikuti standarisasi tertentu, kemudian disusul oleh sekolah B yang juga berhasil meraih sertifikat standarisasi yang sama. Bahkan ketika keduanya diaudit oleh Lembaga Standarisasi yang sama, dan kemudian anggap saja keduanya juga diaudit oleh auditor yang sama. Namun tetap saja, masyarakat masih terlihat berlomba-lomba mendaftarkan putera dan puterinya ke sekolah A. Jika diasumsikan, keduanya bahkan secara ekstrem juga memperoleh besaran skor sertifikasi yang sama. Namun mengapa, sekolah A tetap menjadi sekolah unggulan, yang kemudian diburu oleh orang tua siswa, ketimbang sekolah B?
Pada studi kasus semacam itu, adalah menarik untuk menakar jawabnya melalui artikel berjudul "Organizational Culture in a Successful Primary School". Studi etnografi tersebut disusun oleh Ayse NEGIS-ISIK dan Musa GURSEL. Keduanya berasal dari Mevlana University, Konya, Turkey. Dalam studi yang dipublikasikan tahun 2013 tersebut, disebutkan bahwa budaya sekolah merupakan salah satu faktor penting yang berperan untuk meraih keberhasilan sekolah. Yang menarik, penelitian tersebut menyebut bahwa sekolah yang berhasil, adalah sekolah yang memiliki karakteristik budaya organisasi yang positif. Mereka memiliki guru yang meskipun mempunyai sudut pandang yang berwarna, namun tetap berhasil membangun relasi positif di sekolah. Guru juga telah menunjukkan sikap berbagi, dalam rangka menjadi sosok problem solver. Yang terakhir, Kepala Sekolah mampu secara konsisten, dan memiliki karakteristik kepemimpinan yang secara nyata terbukti dapat memberikan kontribusi secara langsung, bagi keberhasilan sekolah.
Menyimak peran penting budaya organisasi tersebut, sejak bulan Juni 2013 Pengurus Yayasan Pendidikan Taruna Jaya, telah menerapkan materi budaya organisasi sekolah pada setiap proses rekrutmen pegawai baru. Bahkan Kepala Sekolah yang saat ini menjabat, termasuk mereka yang telah menjajal materi uji budaya organisasi sekolah. Hal ini sangat penting, mengingat riset yang dilakukan oleh Nyameh Jerom pada tahun 2013, juga telah menyitir peran penting dari pendiri dan top management sehubungan dengan figure formation atas budaya organisasi.
Hanya saja sekolah yang telah lama berdiri tentu mengalami transformasi. Ketika SMP Taruna Jaya Surabaya telah menerapkan internalisasi budaya baru sejak 2013, lantas bagaimana dengan pegawai yang lama? Tentu akan menjadi satu dialek tersendiri bagi sekolah yang sudah berdiri sejak tahun 1986. Merujuk penelitan yang dilakukan oleh Ayse Negis Isik dan Musa Gursel (2013), dalam hal ini sekolah memerlukan kerjasama antara guru dan tenaga kependidikan yang telah ada, untuk bersama-sama meningkatkan derajat keberhasilan sekolah. Kecepatan pegawai lama dalam mencerna dan mengimplementasikan budaya organisasi, tentu akan membantu mereka yang datang sebagai punggawa baru di sekolah. Jika secara dramatis terjadi gesekan, maka hal ini akan mengakibatkan kerugian bagi sekolah, melalui penurunan semangat kerja sama, antar elemen di sekolah. Untuk itu, Kepala Sekolah dituntut agar piawai dalam menyiasati beban administratif yang menempel di pundaknya. Mengapa demikian? Implementasi budaya organisasi sekolah, tidak cukup hanya berhenti pada aturan di atas kertas. Perlu proses internalisasi dan sosialisasi yang kreatif dan inovatif.
Menurut Negis Isik dan Gursel (2013), masalah yang paling sering ditemui di sekolah adalah "gangguan" wali murid dalam hal administratif. Mungkin jika di Indonesia, masalah yang dimaksud terkait dengan keterlambatan pembayaran iuran siswa, atau aksi protes wali murid terhadap beberapa hal sepele yang meski demikian, tetap harus diterima dan ditangani dengan baik. Masalah kedua, adalah ketidakberhasilan guru dalam menerapkan kebijakan akademik sekolah. Hal ini kemudian membutuhkan hubungan dan komunikasi yang baik antara guru dan tenaga kependidikan di sekolah. Selain itu, komunikasi yang efektif, antar sesama guru juga diperlukan. Mengingat para guru, datang ke sekolah dengan membawa beragam perspektif yang telah mereka bawa sebelumnya. Di sisi lain, prestasi akademik yang dipersembahkan oleh guru atau siswa, tetap dianggap sebagai acuan keberhasilan sekolah.
Sehubungan dengan itu, Negis Isik dan Gursel (2013), kembali menyebut bahwa sekolah memerlukan Kepala Sekolah yang memiliki sikap adil terhadap setiap warga sekolah. Menurut penelitian mereka, hal ini adalah faktor kunci dalam pembentukan atmosfir positif di sekolah. Sehingga setiap warga sekolah, secara bersama-sama akan merasa memiliki tanggung jawab yang sama, terhadap keberhasilan sekolahnya.
Agar sekolah dapat meraih sukses, orientasi sekolah terhadap prestasi, dianggap oleh Negis Isik dan Gursel (2013), sebagai faktor penting. Menurut mereka, sekolah tidak dapat memungkiri keberadaan input, berupa siswa berprestasi, bagi keberhasilan sebuah sekolah. Ketika para siswa SD berprestasi, sudah mulai berbondong-bondong mendaftarkan diri ke SMP Taruna Jaya Surabaya misalnya, hal ini laksana kesuksesan klub sepak bola yang baru saja memenangkan bursa transfer pemain bintang, guna memperkuat timnya pada musim liga mendatang.
Hal tersebut, dipercaya akan dapat membangun popularitas sebagai sekolah berprestasi, yang kemudian dapat digunakan untuk memotivasi peran guru dan siswa dalam meraih prestasi selanjutnya. Prestasi siswa, dikatakan oleh Negis Isik dan Gursel (2013), adalah alasan mendasar bagi wali murid untuk mendaftarkan anaknya di sebuah sekolah. Alasan yang lain, mereka yang berprestasi "dianggap" berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang lebih tinggi. Sehingga demikian, diharapkan juga dapat membantu sekolah dalam menunjang kelahiran program pengembangan sekolah. Hal ini terkesan klise, namun tak dapat dipungkiri bahwa jika ingin meraih prestasi lebih, tentu juga membutuhkan sumber daya yang lebih baik. Meski juga harus diakui, bahwa hal itu tidak bersifat mutlak. Mengelola sekolah yang dipenuhi oleh wali murid dari kalangan "the have", tentu jauh lebih mudah. Tentu saja, jika tujuannya kembali pada prestasi, yang diartikan sebagai bagian penting bagi keberhasilan sekolah. Kesuksesan siswa dan guru, akan berkontribusi terhadap branding keberhasilan sekolah. Dalam konteks ini, pemaknaan terhadap "prestasi", untuk sementara waktu dapat kita kesampingkan.
Secara ringkas, dapat dinyatakan bahwa komunikasi yang efektif diperlukan untuk mengembangkan motivasi. Motivasi untuk bekerja sama antar seluruh elemen sekolah. Motivasi untuk meyakini kebijakan pimpinan, sebagai tahapan untuk meraih keberhasilan sekolah. Sementara internalisasi, memerlukan campur tangan pimpinan sekolah untuk sebisa mungkin mengawal keberadaan nilai-nilai budaya yang mendukung tercapainya visi misi sekolah. Mereduksi perilaku baik, yang dipercaya dapat membangun keberhasilan sekolah. Dilakukan secara terus menerus, hingga menjadi tata nilai yang tercermin dalam hidup keseharian di sekolah. Menyatukan warga lama dan pendatang baru, kolaborasi antara punggawa senior dan junior, serta aktualisasi beberapa perspektif individu, adalah tugas Kepala Sekolah. Kepala Sekolah dituntut untuk bisa memberikan kenyamanan bagi mereka yang hendak melaksanakan tata nilai dalam keseharian. Kepala Sekolah diminta larut dalam setiap tindakan, aksi dan sangsi, sehubungan dengan penerapan visi misi sekolah. Kepala Sekolah harus mampu memastikan tumbuhnya motivasi berprestasi di sekolah. Prestasi setiap warga sekolah, adalah sebuah titian yang harus diyakini akan mampu membawa sekolah menuju kesuksesan.
Oleh:
Yuniawan Heru S., M.Si.
Ketua Pengurus
Yayasan Pendidikan Taruna Jaya Surabaya