Goodbye, Sekolah (Swasta) Murah!
Andai saja tidak mengingat perjuangan Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara pada 3 Juli 1922 silam, mungkin tak akan ada tulisan ini. Misalkan saja, tidak mengingat perjuangan sosok Ahmad Darwis dalam mendirikan sekolah dan persyarikatan Muhammadiyah, bisa jadi tidak akan hadir ikhtiar ini. Seumpama tidak pernah mendengar nama INS Kayutanam yang didirikan Muhammaf Sjafei pada tahun 1926 di Padang Pariaman, hampir pasti tidak akan ada semangat untuk menuliskan topik ini.
Demikianlah, dari tekad lembaga pendidikan bercorak khusus atau tangan-tangan dingin pejuang gigih seperti beliau-beliau itulah, wajah pendidikan Indonesia mampu berbenah sejauh ini. Muhammad Sjafei harus menyewa rumah penduduk, dengan murid awal hanya sejumlah 79 orang. KH Ahmad Dahlan, mengawali kelasnya dengan 9 orang murid, dengan menggunakan 3 meja dan 3 bangku saja. Menginjak bulan ke-6, sekolah yang didirikan pada 1 Desember 1911 itu, berhasil mengumpulkan 20 orang siswa. Itulah sekolah pertama milik pribumi yang berhasil berinovasi terhadap kurikulumnya. Pada saat Taman Siswa berdiri, Muhammadiyah telah memiliki 8 sekolah yang memiliki lebih dari 1000 siswa.
Kiprah swasta, tidak dapat dipungkiri telah memegang peran besar bagi perjalanan pendidikan di Indonesia. Mengapa demikian? Pada saat Indonesia belum merdeka, akses pendidikan tidak dapat diperoleh dengan mudah oleh seluruh rakyat Indonesia. Jangankan memiliki APBN/APBD, saat itu pemerintahan pun belum ada. Sehingga kala itu, swasta telah mempersembahkan dharma bhaktinya. Di Bandung misalnya, beberapa sekolah swasta seperti SMAK Lyceum Dago dan SMPK Bahureksa, adalah sekolah pertama di sana. Pada awalnya SMPK Bahureksa adalah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), yakni sekolah setara SMP yang ada pada masa Belanda. HIS adalah sekolah Belanda yang setara SD pada masa kini. HBS adalah sekolah setara SMA pada masa itu. Sementara keturunan Cina, pada masa itu lebih memilih bersekolah di HCS (Hollands Chinesche School) yang juga mengajarkan bahasa Tionghoa. Sekolah milik Belanda, secara umum didirikan pada era politik balas budi oleh pihak Kerajaan Belanda.
Kekuatan Anggaran
Lantas bagaimana pada masa kini? Sektor pendidikan memang tengah memegang peran penting, yang kemudian ditunjukkan melalui distribusi anggaran (APBN) 20 persen untuk pendidikan anak negeri. Namun ternyata, membelanjakan anggaran sedemikian banyak, tentu tidaklah mudah. Hibah bantuan operasional sekolah (BOS) memang telah berhasil dibagikan pada seluruh sekolah di penjuru Indonesia. Beberapa daerah pun juga telah membagikan BOPDA (Bantuan Operasional Pendidikan Daerah) sebagai hibah serupa di tingkat kabupaten/kota. Tujuannya, tentu saja untuk menciptakan pendidikan yang berbiaya murah dan bermutu tinggi.
Pada tahun 2009, Dinas Pendidikan Kota Surabaya misalnya, mengelola dana Rp. 244,2 miliar. Pada tahun 2017, Dinas Pendidikan Pemprov Jawa Timur mengelola anggaran Rp. 1,6 triliun. Pada tahun 2018, Pemkot Surabaya mengalokasikan anggaran layanan pendidikan sebesar 24 persen dari APBD atau senilai Rp. 2,04 triliun. Hal ini tentu menggembirakan, mengingat kekuatan anggaran pendidikan Indonesia, telah jauh memadai ketimbang pada masa Ki Hajar Dewantara di waktu lampau.
Kebutuhan Anggaran
Kendati demikian, besaran hibah yang diberikan, ternyata masih belum mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan rerata siswa di sekolah. Pada sekitar tahun 2014 lalu, kami pernah menghitung, berapa kebutuhan per siswa, untuk jenjang SMP, agar secara kumulatif sebuah sekolah mampu menyediakan proses belajar mengajar yang kompetitif bagi siswanya. Hasilnya, untuk jenjang SMP, jatuh pada angka Rp. 350 ribu per siswa, per bulan. Itu adalah angka minimal yang seharusnya dipenuhi oleh sekolah, jika ingin dapat bersaing dengan sekolah lain. Asumsi untuk kota Surabaya misalnya, jika setiap siswa SMP memperoleh dana BOS sebesar Rp. 83 ribu per bulan, dan BOPDA sebesar Rp. 80.5 ribu. Hal ini pun dengan catatan, bahwa pencairan BOPDA, akan terus mengikuti syarat dan ketentuan berlaku. Jika penyaluran BOS dan BOPDA lancar, maka setiap siswa akan memperoleh sekitar Rp. 163.5 ribu per bulan. Artinya, dengan asumsi tahun 2014 tersebut, masih terdapat selisih Rp. 186.5 ribu per siswa, per bulan. Jika saja terjadi inflasi pada angka 10 persen per tahun, maka pada tahun 2018 ini bisa menyentuh kisaran angka Rp. 490 ribu, per siswa per bulan. Karenanya, sekolah jadi membutuhkan tambahan sekitar Rp. 327 ribu per siswa, per bulan.
Perhitungan tersebut ternyata seiring dengan kalkulasi SMA/SMK negeri di Surabaya pada tahun 2017, yang memberlakukan penarikan SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan). Asumsi untuk SMA/SMK kota Surabaya, setiap siswa akan memperoleh dana BOS sebesar Rp. 116 ribu per bulan, dan BOPDA sebesar Rp. 152 ribu. Namun demikian, sekolah negeri mengaku masih membutuhkan anggaran tambahan. SMKN 2 Surabaya misalnya, diberitakan telah memperhitungkan kebutuhan dana hingga Rp. 400 ribu per siswa per bulan, sehingga butuh SPP sebesar Rp. 284 ribu, per bulan. Hal ini kemudian menjadi polemik, manakala pemerintah daerah menghendaki SPP di kisaran Rp. 135 ribu, sebagai pengganti BOPDA, pasca peralihan pengelolaan SMA/SMK ke provinsi. Pada sisi lain, SMA/SMK negeri menghendaki ada tambahan SPP di kisaran Rp. 200 ribu per bulan.
Namun bagaimana perhitungan dari sekolah? Berdasarkan berita Jawa Pos (5/1) 2017, diketahui bahwa biaya pendidikan untuk jenjang SMA di Surabaya, ditaksir mencapai Rp. 3 juta per siswa, per tahun. Untuk jenjang SMK bidang teknik di Surabaya, membutuhkan Rp. 4 juta per siswa per tahun. Menurut salah seorang Kepala SMA negeri di Surabaya, jika sekolahnya memberlakukan SPP yang sama dengan perolehan BOPDA, maka hal itu diakui belum bisa menutup biaya ekstrakulikuler. Artinya, sekolahnya tidak akan kompetitif, dan tertinggal dari sekolah yang lain.
Kompetisi Negeri Vs Swasta
Jika sekolah negeri pada studi kasus SMA/SMK di Jawa Timur saja, masih mengalami kendala dalam pemenuhan anggaran. Lantas bagaimana dengan sekolah swasta? Sekolah swasta yang memungut biaya rendah bagi siswanya, tentu hanya akan menggantungkan diri pada hibah BOS dan BOPDA. Pada sisi lain, sekolah negeri relatif aman, mengingat biaya operasional sekolah, sudah dipenuhi oleh pemerintah. Praktis hanya belanja gaji guru tidak tetap atau tendik honorer, yang menjadi beban angggaran dari sekolah negeri. Sementara sekolah swasta, masih harus bertarung dengan aneka strategi untuk menciptakan efisiensi di dalam setiap proses yang dijalankan.
Pada tahun 2014, diberitakan beberapa sekolah swasta di Surabaya, melanggar program mitra warga yang memberikan keringanan biaya bagi siswa miskin. Pada tahun 2017, mayoritas siswa miskin yang semula dititipkan pada beberapa sekolah swasta di Surabaya, pada akhirnya masuk ke SMP negeri yang memang melakukan kebijakan penambahan rombel. Pada tahun 2017, perhimpunan SMP swasta se Kabupaten Gianyar mengaku kecewa, akibat sebanyak 21 SMP swasta telah kehilangan 700 siswa yang beralih ke SMP negeri. Hal ini terjadi, akibat adanya penambahan rombel pada SMP negeri di Gianyar, Bali. Kondisi ini akan menjadi lebih parah, manakala pemerintah setempat, memiliki kebijakan pembangunan sekolah negeri baru. Belum lagi, ketika pemerintah daerah memiliki kebijakan untuk mendirikan sekolah terbuka yang dilaksanakan di sekolah negeri. Pada masa lalu, siswa yang masuk pada siang hari, dan bertempat di bangunan sekolah negeri, diwadahi oleh sekolah PGRI. Kebijakan sekolah terbuka, rawan dimanfaatkan oleh mereka yang ingin anaknya tetap dapat diterima di sekolah negeri, meski tidak memiliki NUN yang memadai. Sementara sekolah swasta berbiaya rendah, cenderung hanya dapat menerima siswa "buangan" dengan NUN rendah, yang sebelumnya tidak diterima pada seleksi sekolah negeri.
Tentu saja, dalih pemerintah setempat adalah belum mampunya sekolah swasta, untuk memberikan pendidikan yang bermutu. Acuan yang dipakai, tentu saja adalah UU No. 20 tahun 2003, tentang hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Namun pertanyaannya, apakah benar sekolah negeri sudah mampu menyediakan pendidikan yang bermutu? Apakah benar, bahwa sekolah swasta tidak mampu mengungguli sekolah negeri?
Sekolah Swasta Bermutu Tinggi
Berdasarkan data tahun 2017, diketahui bahwa siswa yang berasal dari SMK Telkom Sandhy Putra, Malang, mendominasi 3 besar peraih UN tertinggi di Jawa Timur. Sekolah swasta yang berada di bawah naungan Yayasan Sandhykara Putra Telkom ini, menyertakan 4 siswanya, dalam jajaran 10 besar peraih UN tertinggi tahun 2017 di Jatim. Praktis hanya ada 3 siswa dari SMK negeri yang ada di jajaran 10 besar tersebut. Untuk kelompok SMA, siswa dari SMA Katolik Santa Agnes, berhasil mengungguli siswa terbaik dari SMAN 2 Sidoarjo dan SMAN 8 Malang, untuk masuk di jajaran 5 besar peraih UN tertinggi di Jatim. Sementara untuk wilayah Kota Surabaya, dua siswa dari SMAK Santa Agnes, berhasil menjadi peraih nilai UN tertinggi, tahun 2017. Perlu diketahui, bahwa SMAK Santa Agnes, juga adalah sekolah swasta yang berada di bawah naungan Yayasan Yosef Freinaidemeitz.
Lain halnya dengan kondisi di Sumatera Selatan, peraih nilai UN tertinggi pada tingkat SMP tahun 2018, didominasi oleh sekolah swasta dari kota Palembang. Menurut Kabid SMP Dinas Pendidikan kota Palembang, pada tahun 2018 hanya terdapat 2 sekolah negeri yang masuk 10 besar. Hal ini diakui sebagai penurunan, setelah pada tahun 2017 terdapat 4 SMP negeri, yang berhasil masuk 10 besar. Peraih nilai UN terbaik se Sumsel 2018, berasal dari SMP Ignatius Global School yang kemudian disusul oleh SMP Kristen Ipeka Palembang dan SMP Palembang Harapan. Sekolah swasta lain yang berhasil menembus 10 besar adalah SMP Paramount, SMP Islam Al Azhar Cairo Palembang, dan SMP Matreyawira.
Serangkaian data tersebut menunjukkan, bahwa sekolah swasta tidak hanya disebut bisa bermutu tinggi, namun bahkan mampu mengungguli dominasi sekolah negeri. Pada sisi lain, ada banyak hal yang secara berdikari, harus diusahakan dan dikelola oleh Yayasan Pendidikan yang menaunginya. Sekolah swasta bermutu tinggi, tidak cukup jika hanya mengandalkan sejarah kontribusi yang panjang. Namun ternyata juga sangat memerlukan program, fasilitas, dan SDM yang berkualitas.
Bermutu = Mahal?
Jika kita kembali menyimak perhitungan biaya pendidikan, perihal kebutuhan anggaran tersebut pada SMA/SMK negeri di atas, telah cukup menunjukkan betapa perlunya dukungan anggaran yang memadai. Istilah Jawanya, “ono rego, ono rupo”. Itulah istilah yang sesuai, untuk dapat menggambarkan kondisi saat ini. Lantas berapa biaya yang dipatok oleh sekolah swasta yang dipandang bermutu tinggi? Berdasarkan penelusuran terhadap sekolah swasta yang mempublikasikan secara terbuka informasi biaya pendidikannya, dapat diperoleh angka tertentu. Salah satu sekolah di bawah Yayasan yang telah memiliki sejarah panjang di blantika pendidikan Indonesia, dengan terbuka mematok biaya PPDB SMP 2018/2019 sekitar Rp. 17.5 juta dengan SPP sebesar Rp. 900 ribu, per bulan. Meski di bawah naungan Yayasan yang sama, sekolah berbasis agama yang memiliki cabang di Surabaya ini, menawarkan harga yang bervariasi. Untuk SMP di kawasan Wonokromo misalnya, menetapkan biaya PPDB 2018/2019 sekitar Rp. 7 juta, dengan SPP sebesar Rp. 375 ribu per bulan. Untuk kalangan sendiri, disediakan beberapa potongan khusus. Bagi SMP di kawasan Karangpilang, mereka hanya berani menetapkan biaya PPDB 2018/2019 sekitar Rp. 2.5 juta dengan SPP sebesar Rp. 300 ribu per bulan.
Bagaimana dengan sekolah lain? Hasil penelusuran pada sekolah swasta Islam ternama di Surabaya, dengan tegas menetapkan biaya pendidikan untuk jenjang SMP sekitar Rp. 38 juta, dengan besaran SPP Rp. 2.3 juta per bulan. Untuk salah satu SMP Katolik ternama di Surabaya, pada tahun ajaran 2017/2018 lalu, diketahui menetapkan biaya PPDB sebesar Rp. 10-11 juta, dengan varian SPP antara Rp. 600 - Rp. 725 ribu per bulan. Lain lagi dengan sekolah bertaraf internasional yang terletak di kawasan Lakarsantri, Surabaya. Sekolah tersebut diketahui menetapkan Rp. 1 juta, hanya untuk memenuhi biaya pendaftaran. Berikutnya, siswa baru untuk jenjang High School, dikenakan biaya pembangunan dan pengembangan sebesar Rp. 29.5 - Rp. 53 juta, dengan SPP sebesar Rp. 76 - Rp. 83.5 juta per tahun. Rincian tersebut, belum termasuk biaya makan siang, transportasi, ekstra kurikuler, atau program khusus lainnya, yang dimungkikan untuk menarik biaya terpisah. Goodbye!
Jadi, apakah tidak ada sekolah swasta yang murah? Tentu saja ada, meski tentu tidak banyak yang mampu bermutu tinggi. SMP Taruna Jaya I Surabaya misalnya, sampai dengan tahun 2016 tidak menarik uang sepeser pun, untuk SPP. Kala itu, bahkan masih mampu menggelar beberapa event dan memiliki program beasiswa yang digagas oleh Yayasan Taruna Jaya. Melawan segala keterbatasan, 3 tahun lalu SMP Taruna Jaya sudah mampu merain nilai UN Bahasa Inggris tertinggi di Surabaya Utara. Pada tahun ajaran baru ini, juga mampu menghantarkan siswa-siswinya ke SMA favorit melalui jalur prestasi di bidang futsal dan cheerleaders. Namun demikian, hal itu belumlah cukup. Dinas Pendidikan Kota Surabaya, tentu memiliki harapan yang lebih besar, agar sekolah swasta mampu bersaing dan meningkatkan prestasinya. Gayung pun bersambut, beberapa kebijakan baru dikeluarkan untuk dapat memompa mutu pendidikan, sehingga tetap dapat bersaing dengan SMP negeri di sekitarnya.
Dilema Pengembangan Pendidikan
Pemkot Surabaya patut mendapat apresiasi, karena telah mampu mengembangkan potensi anak didik di Surabaya, dengan sangat baik. Namun demikian, pos anggaran untuk pengembangan pendidikan, masih dapat ditingkatkan. Siswa yang saat ini bernaung di sekolah swasta, juga merupakan anak bangsa yang perlu mendapat perhatian khusus. Menurut perhitungan kami, sekolah swasta berbiaya rendah, saat ini hanya mampu menyisihkan 7 persen dari total anggarannya, untuk memenuhi kebutuhan pengembangan. Selebihnya, habis terkuras untuk menutup biaya operasional dan manajerial. Menciptakan keadilan dan pemerataan pada aktivitas anggaran pengembangan, adalah kuncinya. Jika pemenuhan biaya operasional sekolah, dapat terselesaikan dengan baik, maka aktivitas pengembangan akan dapat segera didongkrak. Jika dilaksanakan dengan obyektif, hal ini terbilang cukup efektif, untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan secara bersama-sama, antara sekolah negeri dan swasta.
Setidaknya, ciptakan pasar persaingan sempurna untuk sekolah swasta berbiaya rendah. Sekolah negeri yang biaya operasionalnya ditanggung oleh APBD, tentu saja akan dapat lebih unggul dari sekolah swasta yang biaya operasionalnya ditanggung sendiri. Setidaknya, belanja gaji guru PNS di sekolah negeri sudah ditanggung oleh negara. Jika saja sekolah swasta berbiaya rendah, juga mendapat pemenuhan anggaran sama halnya seperti sekolah negeri, maka tidak ada alasan lain bagi sekolah swasta, selain harus mampu berkompetisi meningkatkan prestasi. Merujuk kondisi saat ini, sekolah negeri yang mampu mengungguli sekolah swasta berbiaya tinggi, itu baru hebat!
Agar dapat berkompetisi, pilihan bagi sekolah swasta berbiaya rendah, hanya ada dua. Pertama; meningkatkan pos anggaran pengembangan pendidikan, yang tentunya akan berdampak pada peningkatan biaya pendidikan bagi para siswanya. Hal ini pun, tidak mudah. Mengingat, sekolah berbiaya rendah, harus menggeser pasar. Mengapa demikian? Karena pasar baru yang disasar, adalah irisan dari pasar sekolah negeri, dengan sekolah swasta berbiaya tinggi. Pasar lama yang dihuni oleh siswa dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, lambat laun adalah milik sekolah negeri. Sementara untuk menggesar pasar, mereka perlu pembuktian. Artinya, bagi sekolah swasta berbiaya rendah, Yayasan harus bersedia untuk membelanjakan dana pribadi, yang belum dapat dipastikan akan dapat kembali. Hal ini tentu berbeda dengan sekolah swasta berbiaya tinggi, yang tidak perlu menggeser pasar, sehingga kalkulasi laba ruginya, sudah dapat dipastikan. Dari awal, sekolah swasta berbiaya tinggi, sudah menyasar mereka yang ada di tingkat sosial ekonomi menengah ke atas. Bahkan putera-puteri dari beberapa pejabat pemerintahan, banyak yang bersekolah di sekolah swasta berbiaya tinggi, sebagai simbol dari sekolah berkualitas. Beberapa kali dijumpai, wali murid tidak terlalu memahami konsep sekolah yang diusung, namun cenderung menganggap bahwa sekolah swasta yang siswanya banyak dihantar oleh mobil, adalah sekolah yang berkualitas.
Kedua; Yayasan Pendidikan yang menaungi, juga harus mampu berperan ganda sebagai Yayasan Sosial. Fungsinya, menampung CSR atau donasi dari mereka yang memiliki perhatian luas terhadap nasib pendidikan anak bangsa. Jika tidak demikian, sekolah swasta yang berbiaya rendah, harus siap untuk terhimpit oleh sekolah negeri. Saat ini, kompetitor dari mereka bukanlah sekolah swasta yang lain, melainkan sekolah negeri. Tanpa perlu melakukan promosi sekalipun, maka mereka khususnya yang berada pada strata ekonomi menengah ke bawah, dapat dipastikan akan memilih sekolah negeri terdekat.
Jika suatu saat nanti, pemerintah sebagai pengelola APBD cenderung memilih kebijakan pendirian sekolah negeri baru, maka dapat dipastikan nasib sekolah swasta berbiaya rendah, pasti akan tamat! Ibarat hidup segan, mati tak mau, sekolah swasta berbiaya rendah, hanya berkutat pada fase bertahan dalam tekanan pasar persaingan yang tidak seimbang. Secara alami, pemerintah daerah sebagai pemegang hak pengelolaan APBD, tentu akan lebih mencurahkan kasih sayangnya kepada sekolah negeri sebagai anak kandungnya. Ibarat anak tiri, sekolah swasta berbiaya rendah, dituntut untuk berprestasi secara mandiri, dengan sekedar mendapat pengakuan sebagai anak.
Hendaklah, kita bersama dapat mengingat perjuangan perguruan swasta dalam merintis pendidikan di Indonesia. Tengoklah, sebelum pemerintah RI mampu mendirikan sekolah formil, sekolah swasta-lah yang menjadi rujukan. Sebelum pemerintah daerah memiliki kekuatan anggaran untuk membangun sekolah baru, maka sekolah swasta-lah yang ketika itu tampil mengambil peran. Bangsa yang besar, tentu adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah!
Agar dapat berlaku adil, pemerintah daerah dapat memberi modal dasar yang sama, bagi percepatan pengembangan pendidikan di sekolah negeri dan swasta berbiaya rendah. Sebagai orang tua, kedua anaknya; dapat difasilitasi baju yang sama, sepatu yang sama, sarapan yang sama, peralatan sekolah yang sama, bahkan hingga dititipkan di sekolah yang sama. Jika sudah demikian, orang tua berhak dan berkewajiban menegur, mengawasi, dan membimbing kedua anaknya. Saat ini, setiap orang tua tidak ada yang mengetahui, kelak siapa diantara kedua anaknya itu, yang mampu menjadi penghibur hati di hari tua mereka. Kelak, tidak ada yang tahu, siapa di antara mereka, yang ternyata sanggup memberikan mahkota kebanggaan bagi orang tuanya.
Yuniawan Heru Santoso, M.Si.
Ketua Pengurus