Kabar Osis



KEBEBASAN

Richard Remus

15 March 2015

Bendera putih kecil yang terbuat dari kertas minyak berkibar di bawah merah putih yang perkasa. Di tengah keheningan, disela kesibukan orang orang bertakziah, tepukan tangan yang hangat dan tebal menepuk pundak Reza, seketika Reza tersentak kaget dan menoleh ke belakang melihat perempuan paruh baya yang menggelengkan kepalanya ke arah pintu masuk rumah.

“Ayo makan dulu, Bude tadi bikin nasi pecel sama telur” tawar perempuan tua yang merupakan Bude dari seorang Reza itu.

“Iya bude” jawab Reza menganggukkan kepalanya sembari menatap bude dengan mata sendu.

Reza masuk ke dalam rumah lewat pintu samping. Ia melihat sang Ibu, Tante Wanti dan putri bungsunya, Cahya, tengah merangkai bunga kenanga, melati, dan kantil untuk nantinya diletakkan di atas keranda. Semua anggota keluarganya sibuk menyiapkan para petakziah, ada yang membersihkan perabotan rumah, menyapu halaman belakang, dan ada juga yang menggelar tikar diruang tamu.

Reza masuk ke dalam ruang tempat dia biasa membaca buku, tak disangkanya seorang kakak sepupu laki-lakinya, Mahardika telah berada duduk disana lebih awal. Dika tengah duduk di kursi sembari mengusap sebuah pigura dengan lap kanebo lembab warna kuning.

Tidak lama kemudian Reza segera mendatanginya dan bertanya.

“Kamu ngapain?” tanya Reza sambil mencuri pandang apakah yang dibersihkan olehnya.

“Ngelap sambil piagam veterannya Kakek”

“Ohh” balas Reza, sedikit canggung.

“Kakek sering cerita waktu dia ikut gerilyawan di hutan, dia terpaksa makan singkong mentah, air berlumpur, tapi semua dari itu simbah paling tidak tahan dengan gigitan serangga dan nyamuk” tutur Dika sembari menatap pigura.

Kakek mereka adalah veteran perang yang ikut dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan, mereka adalah pahlawan yang tidak tertulis namanya diprasasti. Beliau pasti sangat bangga ikut menjadi salah satu andil dalam membebaskan Negerinya. Merdeka memiliki makna bebas, Namun hidupnya jauh dari kata merdeka, kakek hidup miskin sebagai petani dengan hasil jerih payahnya Beliau gunakan untuk membiayai dua adiknya yang lumpuh karena polio dan tuna rungu sejak kecil. Selain daripada itu hasil panen yang terbatas dicukupkan untuk lima anggota keluarganya yang amat dicintainya.

Diusia senjanya kakek mengalami stroke tulang belakang dan mengakibatkan kelumpuhan, karena usia yang renta, kakek meninggal dalam keadaan sakit yg diderita terlalu lama sehingga menghilangkan daya ingatnya, tidak ingat kerja kerasnya begitu pula tidak ingat perjuangan yang pernah dialaminya “Kakek hanya teringat awal mula beliau mengalami sakit sejak sepuluh tahun lalu, dan ingat kemerdekaan Indonesia. Saat muda, kakek ikut upacara Bendera Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus. Betapa terharunya saat itu, menunggu detik-detik upacara pengibaran Bendera Kemerdekaan, ujar kakek kala bercerita. 

Cerita yang selalu diceritakan berulang ulang oleh kakek kepada cucu cucunya, membuat terharu dan bangga saat mendengarkannya, terutama Reza cucu pertama kakek, yang saat ini hatinya pilu apabila membayangkan perjuaangan kakek.. Tapi sekarang kakek sudah merdeka seutuhnya, merdeka dari ingatan buruk, merdeka dari dendam, dan merdeka dari kerasnya hidup. Reza hanya mendengus,menghela nafas panjang dan bergumam andai saja ada satu hal terakhir yang bisa dilakukannya sebagai penghormatan sebelum beliau dikuburkan di Peraduan terakhir Waktu berlalu, pemakaman yang dijadwalkan usai dzuhur berjalan dengan lancar. Reza berdiri disebelah makam sang Kakek yang tanahnya masih segar dan lembab, bertabur bunga melati, mawar merah putih.

Selamat jalan Pahlawanku, Selamat Jalan kakekku, kemerdekan yang selalu Engkau ceritakan, akan menjadi penyemangat hidupku.